Sabtu, 31 Mei 2008

Kursi Panas bukan Kopi panas

Bagi penggemar musik, mungkin sering menemukan fenomena ada lagu-lagu lama yang diaransemen ulang, kadang mampu nge-top kembali dimasa kini dan meledak dipasaran karena banyak digemari baik oleh yang tua dan yang muda. Seperti lagu Koes plus misalnya. Bagi yang tua mungkin lagu itu bisa diterima sebagai nostalgia masa lalu, dan bagi yang muda juga bisa diterima mungkin karena aransemen dan penyanyinya disesuaikan dengan gaya penyanyi dan kecanggihan teknologi musik masa kini, jadi enak didengar dan familiar. Uniknya lagu-lagu tua itu bahkan mampu mengalahkan kepopuleran lagu-lagu masa kini yang kadang cenderung instan dan jual tampang penyanyinya aja.

Sejarah selalu berulang...

Saat ini gaya kepemimpinan yang ada baik di tingkat pusat sampai ke desa, sungguh sangat memprihatinkan. Kursi kekuasaan ibarat barang dagangan yang bisa diperjualbelikan. Seolah sudah menjadi ceremonial yang membudaya sebagai kewajaran, bahwa untuk jadi pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan cukup hanya dengan memenuhi syarat-syarat administratif dan cukup modal untuk kampanye memikat rakyat. Sehingga sudah jadi rahasia umum, untuk pemilihan pemimpin secara langsung, suara rakyat dapat dibeli. Dan bila sudah menjabat tinggal cari balik modal dengan memanfaatkan kursi kekuasaannya. Karena Modal jadi pemimpin berasal dari dukungan modal kroni-kroninya, maka rakyat yang sudah menikmati kenyamanan menerima sejumlah uang receh di masa kampanyenya, layak untuk dikorbankan demi kepentingan para kroni. Dengan logika ini, seolah-olah kepentingan pribadi dan kroni lebih dipenting dibanding kepentingan rakyat.

Sejarah selalu berulang...

Maraknya budaya kepemimpinan dengan lagu populer money politik ini, pada masanya akan sampai pada masa titik jenuh juga. Suatu saat bisa jadi pemimpin dengan lagu ini akan ditinggalkan penggemarnya. Sebab Rakyat akan semakin cerdas, kritis dan berani menilai dan memilahkan untung rugi dari sebuah proses dagang sapi tampuk kekuasaan ini. Bila kesulitan semakin menghimpit karena dibodohi, bila kemiskinan meluas karena keserakahan, bila pemerasan semakin menggila karena sewenang-wenangan menggunakan kekuasaan, bila sudah tidak ada lagi apa-apa yang bisa diharapkan dari para pimpinan, hanya ada dua kemungkinan...Merdeka atau Mati.

Sejarah selalu berulang..!

Pemimpin dengan lagu money politik tak ubahnya penjajah jaman dulu yang menguras habis kekayaan rakyat untuk kepentingannya sendiri. Kalau dulu kita dijajah oleh bangsa lain, ironisnya saat ini mungkin kita dijajah oleh bangsa sendiri. Sebab penjajahan sesungguhnya tidak mengenal bangsa. Penjajahan adalah sifat serakah dalam diri manusia dari mana pun asalnya. Kalau dulu ada Kapitalis (pemilik modal) yang membentuk Imperialis(kerajaan) dan kolonialis, Mungkin sekarang Kapitalis ini berubah bentuk menjadi Konglomeralis dan Kronialis. Maka Lagu lama dengan aransemen baru ini, perlu disikapi dengan lagu lama dengan aransemen baru juga. Penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.Tak ayal realita ini akan mengundang munculnya revolusi.

Tetapi...tetapi...tetapi..sekali lagi tetapi...siapakah yang kita lawan...?

Nah ini masalahnya.... Kalau dulu mungkin jelas musuh kita adalah bangsa berkulit putih berambut jagung, atau berkulit kuning pendek seperti jago kate bermata sipit. Tapi sekarang...penjajah ini tidak lagi berbentuk jelas secara fisik. Penjajahan ini serupa betul bentuknya dengan kita, Bernaung atas nama negara kita, mengibarkan bendera kita , menyanyikan lagu kebangsaan kita, mengakui kedaulatan wilayah kita. Yah....inilah kompleksnya kita sedang berhadapan dengan cermin diri...

Terus bagaimana bila sudah begitu. Sebenarnya substansinya sama. kalau dulu untuk melawan penjajah dan meraih kemerdekaan harus ada perjuangan, maka untuk menghadapi penjajah masa kini pun rumusnya juga sama yaitu hanya dengan perjuangan. Akan tetapi sekarang bentuk perjuangan disini perlu diberi bentuk dan aransemen yang baru, supaya lebih pas dengan tantangan jamannya. Dimana letak aransemennya...?

Kalau dulu butuh revolusi fisik untuk mendapatkan kemerdekaan dan kedaulatan dari penjajah. Sebab bentuk fisik wilayah, lambang negara, undang-undang dasar, Lagu kebangsaan dan bendera secara fisik kita belum punya. Benar-benar perjuangan dulu mulai dari nol. Dari tidak ada apa-apa menjadi apa-apa. Tetapi sekarang semua apa-apa ada. Lalu bagian mana lagi yang harus diperjuangkan. Sebab kenyataannya meski semua sudah ada sebagai bangsa dan negara, tapi banyak dari kita merasa masih hidup terjajah.

Disinilah letaknya aransemen perjuangan yang perlu kita lakukan. Yaitu pada arah dan sasaran perjuangan. Supaya nantinya bila kita melakukan suatu gerakan perjuangan pun tidak sasar-susur tanpa arah.

Sebagai bangsa merdeka, tidak ada satu pun bangsa yang menjajah. Kita punya kedaulatan penuh atas negara dan wilayah. Kita punya wewenang penuh untuk mengatur diri sendiri. Akan tetapi mengapa kebanyakan kita masih merasa hidup seperti terjajah. Harus diakui, Kita sebagai bangsa, dengan kemerdekaan yang ada, belum bisa menggunakan wewenang dan kedaulatan sebagai bangsa ini dengan sepenuhnya. Sehingga keluar, kita kalah dan lemah bila berkompetisi dengan negara lain dalam menghadapi berbagai permasalah global. Ke dalam kita belum mampu mengurus diri sendiri sehingga masih banyak kemiskinan, kelaparan, kerusuhan, korupsi kolusi dan nepotisme. Masih mudah silau dengan kekuasaan, kekayaan, kejayaan. Artinya sebagai bangsa kita belum dewasa.

Jadi ini salah siapa kita terjajah....ya..salah kita sendiri.

Siapa yang menjajah ?...ya kita sendiri...

Kita..! kita, ! ,kita..! kita yang mana...???? (elu aja kaliiii...gue enggak ..kata Ruben Unsu.he..he.. )

Yah..kita disini adalah kita kolektif sebagai bangsa, yang mana dalam negara demokrasi, kehidupan rakyat diharapkan bisa dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan... itu harapannnya. Maka dari sini, bisa dilihat bahwa yang bisa mengatur kedaulatan dan menggunakan wewenang hasil dari perjuangan kemerdekaan, menurut aturannya adalah para pemimpin yang mewakili rakyat. Diseluruh jajaran lembaga negara. Baik dari pusat sampai ke desa. Sehingga bila para pemimpin yang punya wewenang dan kekuasaan dari amanat yang diberikan oleh rakyat tapi tidak digunakan untuk rakyat, itu berarti dialah sesungguhnya penjajah rakyat. Dari sini sekarang mulai jelas dari penjajahan siapa kita tujukan perjuangan kemerdekaan seri -2 ini.

Secara praktis mungkin yang terlintas, kita harus berjuang memerdekakan diri kita dari para pemimpin yang duduk di lembaga negara yang hakikatnya mewakili kita. Sebagai wakil mestinya para pemimpin itu adalah bentuk lain dari kita yang bisa mencerminkan kehendak, tujuan dan cita-cita amanat kita. Jadi bila mereka tidak amanat berarti merakalah yang menjajah kita.

Tetapi berkait dengan masalah berjuang melawan diri sendiri, kita akan diingatkan dengan sebuah kata penting ` INTROSPEKSI.`Inilah langkah awal sebelum kita memulai suatu gerakan perjuangan. Bahkan introspeksi inilah sesungguhnya roh dari semua bentuk perjuangan kemerdekaan ke-2 ini. Karena kalau ditilik dari proses duduknya seorang pemimpin di negara kita yang demokratis ini, kalau sampai terlahir pemimpin yang tidak amanat, yang kemudian menyengsarakan rakyat, berarti kita pun ikut andil kesalahan di dalamnya. Karena kita mau memberi kesempatan dan memilih dia. Bila itu terjadi berarti kita harus berani mengakui kalau kita sudah terkena bujuk rayu kampanyenya, kita sudah keblinger mau menerima uang suap money politiknya, atau kita asal-asalan memilih, berarti kita ceroboh karena kemalasan kita meneliti kualitas kepridiannya. Dijaman yang aman tentram dan tidak ada peperangan fisik, kita harus akui bahwa kita sudah terlena. Kita biarkan proses pemilihan pimpinan itu berjalan secara ceremonial saja.

Sesungguhnya pengorbanan dan perjuangan dari tiap calon pemimpin, tidak cukup bila hanya dilihat pada saat kampanyenya saja. Bahkan karena berkantong tebal ada yang dengan segala pamrihnya, mereka bisa mengobral rayuan gombal jauh-jauh hari sebelum masa kampanye dilakukan sebagai upaya curi start dari saingannya. Dalam budaya instan dan dilena oleh jaman yang tidak ada tantangan untuk menguji pengorbanan lahir batin seorang pimpinan, mudah sekali kita menjatuhkan pilihan kepadanya.

Inilah tantangan jaman saat ini. Untuk sebuah perjuangan kolektif, mau tidak mau balik-balik kita membutuhkan seorang pemimpin yang bisa memadukan setiap gerak dan langkah perjuangan untuk menyelesaikan masalahi. Pemimpin yang dibentuk dengan perjuangan akan teruji oleh perjalanan panjang penuh pengorbanan. Sehingga tidak perlu kampanye pun mereka sudah dikenal dan diterima oleh rakyat dengan sendirinya, karena memang setiap sepak terjangnnya sudah menjadi konsekwensi logis kalau dia yang layak memimpin. Dari realita inilah layaknya kita memilih para wakil kita untuk duduk sebagai pemimpin rakyat diberbagai jenjang kepemimpinan dari pusat sampai ke desa. Biarlah para calon pemimpin itu menunjukkan dulu karya nyata dan pengorbanan panjang dalam perjuangan untuk rakyat, baru mahkota kepemimpinan kita sematkan kepadanya secara sah dan meyakinkan lewat jalur aturan yang ada.

Selamat jadi kepala desa, bila sudah cukup perjuangan dan pengorbanan lahir dan batin untuk rakyat sedesa sebagai bukti bukan janji pengabdian anda bagi rakyat sedesa.

Pemimpin adalah Abdi Rakyat

Rabu, 28 Mei 2008

Nyandang Urip Mbathik

Saya berasal dari Solo dan nyonya dari Pekalongan. Dalam bercanda sering kami mengungkapkan, Solo dan pekalongan kalo kawin itu bagusnya bisnis batik saja. Maka terinspirasi dari hal itu, pada suatu masa di thn 2000, saya bersama istri membuka usaha kecil-kecilan dengan berdagang batik. Mungkin kalo dilihat secara materi hasilnya tidak seberapa. Tapi dari perjalanan belajar dari kehidupan dari penghidupan itu banyak sekali kekayaan khasanah hidup yang Kami dapatkan. Disini saya akan berbagi nilai-nilai hidup ini, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua.
Dari perjalanan bersama Pakaian Batik ini , saya mendapatkan kenyataan bahwa manusia dalam perjalanan evolusi kehidupannya, harus diakui bahwa dari waktu ke waktu, sesungguhnya selalu mengalami proses di antara dualisme realitas. Ada saatnya sedang kuat, ada saatnya sedang lemah, ada untung dan ada rugi, ada miskin menjadi kaya, ada bodoh ada pintar, ada salah ada benar, ada suram ada cerah dst . Realita dualisme ini, sepertinya akan selalu mengiringi perjalanan kita selamanya dalam kehidupan. Tepatnya dalam bahasa kultur, realitas ini sering diungkapkan dengan `yo ngono kuwi SANDANGANE WONG URIP`.
Dari proses bisnis pakaian inilah saya mendapatkan makna Sandangan. Dari sana berikutnya memunculkan sebuah optimisme dan kehati-hatian dalam menjalani hidup. Pada suatu masa mungkin banyak kejadian yang menjalar sedemikian rupa saling menjalin yang menempatkan kita pada sebuah keadaan untuk disikapi. Mungkin bisa saja Benang-benang kejadian itu saling berkait satu sama lain, yang menempatkan kita pada sebuah kesulitan. Makin hari makin rumit dan makin ruwet, sampai mau bergerak kemana saja semakin sulit. Dalam pandangan imaginernya, benang kejadian itu telah ditenun atau tertenun menjadi sebuah sandangan bagi kita. Bisa dikatakan masa-masa seperti ini kita sedang Nyandang Susah. Bila kita selanjutnya mau berusaha menelusur satu per satu jalinan benang kejadian, dan bisa mengurainya lalu menenunnya kembali menjadi lebih baik, maka berikutnya kita bisa mendapatkan susunan sandangan kehidupan yang lebih baik untuk kita kedepannya. Bila berhasil artinya kita sudah mampu `meruwat` diri kita sendiri. Maka bergantilah episode ini menjadi lakon hidup yang akan menampilkan diri kita dengan costum kehidupan terbaiknya.
Bisa dikatakan bahwa sandangan urip itu hanya sementara. Kalau susah ya sementara, kalau senang pun juga sementara. Semua hal dengan berjalannya waktu akan berubah. Tapi yang mendasar disini adalah kemana arah perubahan itu bagi hidup kita. Apakah menuju lebih baik ataukah menjadi lebih buruk, semua tergantung kita sendiri untuk memberi bentuknya. Untuk itu oleh simbah-simbah biyen, kita diminta supaya selalu eling lan waspada. Sebab sandangan itu sangat tergantung pada sikap dan keputusan kita dalam menjalin setiap benang kejadian yang hadir dihadapan kita. Dan harus bisa menempatkan diri dengan sandangan itu disesuaikan dengan cerita yang sedang dipentaskan di panggung kehidupannya.
Dalam proses menjalin benang-benang kejadian itu, terdapat fenomena unik yang saling berimbang. Bila kita sedang susah biasanya bila kita mau benar-benar berusaha, akan datang jodohnya yang akan menggenapi cerita kita. Bila kita susah akan datang yang sedang mudah, jika kita sakit akan datang yang sedang sehat, bila kita sedang kekurangan akan datang yang sedang dalam kelebihan, dst. Jadi dengan usaha yang sungguh-sungguh ibaratnya adalah kita sedang menarik benang-benang kehidupan untuk mendatangkan solusi bagi kita. Disini bisa dikatakan usaha adalah menciptakan sebab-sebab yang layak sebagai jalan terwujudnya doa. Tapi sebaliknya, bila kita sedang dalam kemudahan, biasanya akan datang kejadian yang menarik kita pada sebuah keadaan berupa kesulitan. Bila sedang senang, berikutnya akan datang keadaan yang dalam kesedihan, bila sedang kelebihan akan ditarik oleh keadaan yang sedang kekurangan. Meski tidak langsung kejadian, atau tidak langsung menjadi tanggung jawab kita keadaan itu, tapi sepertinya kita diminta untuk bisa menyeimbangkan antara memberi dan menerima. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa setiap yang terjadi pada kita akan terkait dengan kehidupan yang lainnya. Dan disinilah saya menemukan makna yang sesungguhnya bahwa kehidupan ini berasal dari akar yang sama yaitu Tuhan yang Maha Tunggal. Jika pada suatu peristiwa kita tidak tahu proses keterkaitannya , dan sesuatu itu datang dengan tiba-tiba, dari arah yang tak terduga, hadir masuk dalam jalinan cerita hidup kita, hal itu sering diungkapkan sebagai kebetulan, hoki, atau pertolongan itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, bila kejadian itu baik hasilnya bagi kita. Tapi bila kebetulan yang hadir itu adalah sesuatu yang buruk dan masuk dalam jalinan cerita hidup kita biasanya akan diungkapkan sebagai, kesialan, nasib buruk, atau ujian dan cobaan dari Tuhan Yang Maha Esa. Tapi apapun ungkapannya, yang jelas semua itu adalah realita. Akhirnya disinilah muncul kesadaran bahwa Tuhan adalah sumber realita. Atau dalam ungkapan spiritualnya `Gusti Allah iku Kasunyatan jati sangkan paraning dumadi.` Maka dalam lakon nyandang urip ini, kita tidak akan terlepas dari ujian dan cobaan, anugerah dan pertolongan. semua berjalan dengan seimbang.
Berikutnya dalam perjalanan mengisi cerita kehidupan, ini kita dihadapkan pada sebuah realita membentuk sejarah. Untuk itu dalam berbagai keadaan dan jalian cerita suka dan duka dan berbagai hukum dualisme yang ada dalam nyandang lakon urip ini, kita diharapkan mampu membentuk cerita cantik dari sebuah perjalanan hidup sebagai anak manusia. Maka diantara pasang surutnya kejadian, satu-per satu pertumbuhan dan perkembangan hidup perlu diatur iramanya. Tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat, tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil, tidak terlalu panjang, tidak terlalu pendek dst, yang intinya supaya hidup tidak keterlaluan. Sebab bila keterlaluan berarti kita melampaui batas alami dari tahap pertumbuhan evolusi diri kita. Unttuk itu semua diharapkan bisa berjalan secara teratur terarah sedikit demi sedikit secara proporsional ditata diantara berbagai gempuran dualisme yang ada. Disinilah saya menemukan makna Bathik `mrambat mboko sithik` ( merambat secara bertahap) menjadi sebuah nilai kebijaksanan hidup yang relevan untuk mengatur irama kehidupan ini.
Demikian sedikit pengetahuan dan pengalaman saya dalam menggali mutiara makna sebagai bekal mengarungi samudera kehidupan ini. Kurang lebihnya mohon maaf atas keterbatasan saya dalam mengungkapkannya.

Selasa, 27 Mei 2008

Arti Sebuah Nama

Bagiku setiap Nama mengandung arti. Disana ada tanda, doa, dan harapan, dari setiap orang yang mencintai kita. Sampai pada masanya, aku mulai bisa memaknai namaku sendiri, sebagai awal menemukan jatidiri. Saya sangat tertarik dengan keragaman karakter manusia dalam berbagai keunikan ekspresinya. Ketika terjadi interaksi antar karakter, disana terdapat bermilyard bentuk kemungkinan yang bisa terjadi hasil reaksi kimia kehidupan ini.
Sejarahnya, mengapa panggung kehidupan ini tidak pernah sepi dengan cerita manusia. Bisa jadi ya...mungkin karena hanya manusia yang bisa bikin cerita, atau mungkin juga karena sedari awal pembentukan organisnya, karakter manusia ini memang bermula dari sebuah proses kolosal alam, walau dalam dimensi mikroskopis. Sebab katanya untuk bisa membuahi sebuah ovum, sperma harus mampu memenangkan kompetisi dahsyat dengan berjuta sperma lainnya.Tidak peduli bagaimana cara ketemunya...dari sang pembawa ovum dan sperma...sebab proses pembuahan ini berlaku hukum alam "isi diluar tanggung jawab percetakan" ..he..he...Maka sering terjadi si pembawa bibit sudah sangat mau tapi kalo bibitnya nggak bisa ketemu ya nggak jadi. Tapi kalo bibitnya ketemu, meski sang pembawa bibit tidak mau ya tetap aja jadi. Biasanya kayak gitu manusia menyebutnya kecelakaan...he..he.., selanjutnya bikin cerita married by accident. Ah paling bisa... ya. Jadi potensi untuk bikin geger dan gonjang-ganjing secara kolosal memang sudah ada didalam karakter dasar manusia.,Ya gitu deh....

Senin, 26 Mei 2008

Nusantara Amukti Jaya-1

Sebagai sebuah peradaban besar, Nusantara memiliki kekayaan nilai-nilai filosofis kehidupan yang sangat luas dan tidak terbatas. Dari waktu ke waktu dalam setiap jaman selalu muncul tokoh-tokoh dengan kesadaran tinggi dan berusaha dengan sungguh-sungguh menggali dan mengejawantahkan nilai-nilai ini di dalam kehidupan untuk menghadapi tantangan jamannya. Dari kesadaran serta upaya tersebut muncullah suatu perubahan besar dan mendasar yang menghasilkan sebuah Revolusi Peradaban di Bumi Nusantara.

Kali terakhir sebuah jejak sejarah di Nusantara telah tercatat, ketika peradaban dunia bergerak kearah demokratisasi dan industrialisasi, sedang di Nusantara kehidupan masih bertumpu pada autokrasi dan agraris-maritime konvensional, maka tak pelak perubahan arah jaman ini, tentu menjadi sebuah tantangan besar bagi kehidupan di Bumi Nusantara. Kejayaan dan kemunduruan dari sebuah peradaban di dunia ini memang selalu dipergilirkan. Atau istilah lain -dalam bahasa kekuasaan- Siapa yang lebih kuat dan lebih cepat mengikuti perubahan jaman dialah Yang Menang dan Memimpin Peradaban. Maka suramlah bumi Nusantara dalam sekian waktu lamanya pada masa perubahan jaman tersebut. Sampai tiba saatnya, berlakunya hukum alam, setiap jaman akan selalu melahirkan tokoh-tokohnya. Dari perjalanan panjang sebuah perjuangan, muncullah para ksatria Nusantara yang telah bangkit kesadarannya untuk menggali kembali nilai-nilai spiritual Nusantara dan dengan segenap kesungguhan hati serta kebulatan tekad berjuang mengejawantahkannya dalam berbagai bentuk kreatifitas dan aktifitas produktif sesuai tantangan jamannya. Dan hasilnya luar biasa, lahirlah sebuah revolusi peradaban di bumi Nusantara berupa kemerdekaan dari sebuah bangsa besar. Yang mampu mengoncang dunia, bukan hanya karena mampu merebut kemerdekaannya sendiri, tapi lebih dari itu bahkan mampu membantu kemerdekaan bagi bangsa-bangsa terjajah yang lainnya. Dan mampu merubah sumbu poros kekuasaan dunia dengan sangat mendasar.

Mengingat dahsyatnya proses kelahiran bangsa ini, ibarat `Ponang Jabang Bayi` kemerdekaan Bangsa ini dalam jagad pewayangan, bisa digambarkan seperti lahirnya Bayi Wisanggeni. Yang kelahirannya mampu menggegerkan jagad sampai tembus ke khayangan jongring saloka. Tidak ada satu pun penguasa baik di alam manusia maupun para dewa yang mampu menghalangi niatnya untuk menemukan jati dirinya. Dan kiprahnya di dunia ibarat Jabang Tetuko yang mampu menjadi jagonya para dewa dalam membantu kemerdekaan dari ancaman angkara baik di marcapada maupun di mayapada. Ke depan bangsa ini sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi bangsa yang besar dan memimpin peradaban dunia. Hanya saja dalam bentuk Fisik Ragawi Kemerdekaan, bangsa ini memang sudah terlahir sempurna. Tapi untuk kemerdekaan Jiwa, bangsa ini masih butuh waktu dalam pendewasaannya. Dan inilah tantangan jaman bagi generasi berikutnya saat ini.

Sang Kelana

Bagi yang sedang dalam perjalanan panjang, Untuk yang dalam pencarian, langkah-langkahmu membawa sejarah, curahan cita-cita langit, memaknai setiap gerak insan pengembara.