Rabu, 04 Juni 2008

Nusantara Amukti Jaya-2


Tuntutan masa lalu, panggilan masa datang, tantangan hari ini

Krisis sistemik organisasi Negara

Bangsa ini sudah sepakat membentuk Negara dengan sistem demokrasi. Sebagai bangsa yang besar, timbulnya masalah yang besar dan multikomplek merupakan konsekwensi logis dari luasnya teritorial dan potensi kebhinekaan yang menjadi unsur penyusunnya. Dengan tidak adanya satu otoritas tunggal (Raja) sebagai penguasa yang bisa menentukan secara mutlak terhadap berbagai permasalahan, dan belum terbentuknya sistem managemen Negara yang mapan, maka butuh waktu relative panjang untuk membuat sebuah keputusan. Ketika menggunakan jalur formal prosedural dalam sistem organisasi Negara yang besar, setiap upaya mengatasi kompleksitas masalah, menjadi kurang efisien dan kurang efektif dalam pelaksanaannya. Karena butuh melibatkan banyak pihak, baik secara vertical maupun horizontal. Sehingga banyak terjadi peluang degradasi nilai baik secara material maupun non material.

Krisis visi kepemimpinan

Dalam sistem organisasi Negara yang bersifat demokratis, diharapkan terbentuk sebuah sistem managemen yang mantap dan mampu menata serta mengontrol berbagai aktifitas kehidupan suatu bangsa. Dan keputusan-keputusan penting bagi nasib bangsa tidak tergantung pada satu manusia saja. Tapi melibatkan segenap elemen bangsa yang diwadahi dalam berbagai bentuk wadah perwakilannya. Dari sana diharapkan setiap keputusan yang diambil benar-benar matang dan karena mempertimbangkan berbagai sisinya sehingga bisa mengatasi setiap kompleksitas masalahnya. Jadi kekuatan kontrol suatu Negara demokarsi lebih disandarkan pada kekuatan sistem managemennya dari pada kekuatan pelaksananya.

Sedang di dalam sejarah yang panjang Nusantara, bangsa ini sudah sering dikelola dengan sistem Negara yang berbentuk kerajaan. Dimana kekuatan pelaksana dalam hal ini raja lebih mendominasi dari pada kekuatan sistem managemen dalam mengontrol hidup berbangsa dan bernegara. Maka bukan sebuah upaya yang mudah dan butuh waktu yang cukup panjang untuk bisa merubah pola budaya kepemimpinan dan kehidupan berbangsa dan bernegara di Nusantara ini. Terlebih lagi dalam Negara demokrasi, diperlukan sebuah pola pembentukan sistem managemen yang kuat, terencana dan berkesinambungan. Sedang dalam prakteknya untuk membentuk sebuah sistem, sangat tergantung pada individu yang kebetulan mendapat giliran sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat sistem tersebut. Jabatan dari sistem pemerintahan demokratis ini tidak berlaku seumur hidup, tidak bisa diwariskan dan semua warga Negara berhak untuk menjadi pejabat. Setiap pejabat memiliki karakteristik dan kekuatan leadership yang berbeda-beda dalam kualitatif dan kapasitasnya. Belum lagi sejarah feodalisme kerajaan masih sangat mewarnai dalam budaya kepemimpinan Negara. Maka besar kemungkinan setiap pejabat berkeinginan menorehkan sejarahnya dengan menciptakan sistemnya sendiri. Tergantung tingkat kekuatan leadership dan kondisi dukungan pada masa jabatannya. Apabila sang pejabat memiliki visi yang berbeda dengan pejabat terdahulu, maka sistem baru tersebut besar kemungkinan akan berjalan tidak berkesinambungan atau tidak selaras dengan sistem yang lama. Sehingga sistem managemen Negara mengalami proses tambal sulam dari waktu ke waktu. Bagi bangsa yang masih muda, pola budaya kepemimpinan ini memang masih dalam proses mencari bentuknya yang ideal. Situasi dan kondisi Negara masih rentan dengan berbagai perubahan. Setiap perubahan masih belum mampu diakomodir oleh sistem manegemen Negara. Jadi untuk mendapatkan sistem yang mapan masih butuh waktu relative panjang bagi suatu bangsa yang berbentuk Negara demokratis.


Krisis Kesadaran kolektif implementasi demokrasi

Dalam Negara demokrasi secara teoritis rakyat yang berkuasa. Tapi dalam kenyataannya rakyat belum memiliki kesadaran sebagai penguasa yang adil dan bijaksana. Mengingat sikap tidak mandiri atau ketergantungan kepada pemerintah atau negara masih sangat besar. Dengan demikian kemampuannya untuk mengatasi masalahnya sendiri yang beraneka ragam tersebut selalu berujung pada menunggu kebijakan dan keputusan pemerintah. Sedang pemerintah yang notabene juga memiliki segenap keterbatasan dengan berbagai kemampuan dan kesempatannya, tidak akan mampu menjangkau setiap masalah sampai ke akarnya. Sehingga penyelesaian masalah tidak pernah bisa tuntas. Dan ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah juga akan bertambah. Sehingga kecenderungan untuk terjadi antipati, pembangkangan sampai pemberontakan kepada pemerintah juga akan semakin menjadi. Ironinya, bila Negara dalam kondisi tidak stabil dalam berbagai hal, tentunya ini akan menjadi boomerang sendiri bagi rakyat. Karena rakyatlah yang paling menderita.

Sikap Mandiri sebagai bentuk faktual kedaulatan rakyat secara langsung ini tentunya bukan berarti terus tidak berkait dengan pemerintah atau harus seberangan dan melawan sikap Negara. Tapi semestinya tetap harus bergandengan tangan, seiring sejalan dengan pemerintah atau Negara. Mengingat, rakyat yang membentuk Negara dan Negara dibuat untuk rakyat. Hanya saja dengan kompleksitas masalah dan segenap keterbatasan sistem manageman Negara yang sedang dalam proses pendewasaan, tentunya belum cukup kemampuan dan kesempatan bagi pemerintah untuk bisa mengatasi semua masalah tersebut. Sedang rakyat yang langsung mengalami masalah tentu lebih tahu secara detail masalahnya sendiri. Mestinya dengan segenap kemampuannya rakyat bisa langsung berupaya mengatasi masalahnya sendiri sampai tuntas, tanpa harus menunggu bantuan pemerintah atau menerjang rambu-rambu negara. Dan untuk itu mengingat keterbatasannya, pemerintah hendaknya bersikap sebagai fasilitator dan pendukung atau abdi bagi rakyat dalam mengatasi masalahnya. Jadi dengan sendirinya pemegang peran utama dalam mengatasi masalah tersebut adalah rakyat, sedang pemerintah atau Negara menempatakan diri sebagai abdi rakyat. Maka bila secara kolektive rakyat sudah memiliki kesadaran Mandiri ini, konsekwensi logis pun terbentuk yaitu pemerintah pun bukan lagi sebagai penguasa. Tapi rakyatlah hakikatnya sebagai pengusa bagi bangsa dan Negara. Sedang pemerintah benar-benar sebagai abdi rakyat. Dan filosofi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat bukan menjadi slogan belaka.


Krisis Nasionalisme

Rasa kepemilikan terhadap bangsa dan Negara ini diawali dari bangkitnya kesadaran akan perjuangan dengan segenap pengorbanan untuk melahirkannya. Ketika rasa perjuangan dan pengorbanan itu sudah tidak dirasakan, maka rasa kepemilikan pun juga makin sirna. Sejalan makin surutnya rasa kepemilikan, maka pengakuan, kasih sayang, tekad untuk membela, dan mempertahankan eksistensi bangsa dan Negara ini pun juga akan semakin sirna. Adanya kesenjangan generasi yang tidak ikut berjuang dan berkorban dalam melahirkan bangsa dan Negara ini serta konsekwensi logis berlalunya waktu, menjadikan daya ingat kolektif dari bangsa ini akan perjuangan dan pengorbanan para pendahulu juga semakin menurun. Maka krisis nasionalisme pun tidak bisa terhindarkan.

Sejarah telah mencatat bahwa Para founding father`s memiliki Visi yang meluas untuk membentuk sebuah Negara dari suatu bangsa. Sehingga dalam perjuangannya beliau-beliau rela mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya demi bangsa dan Negara. Tapi sayang dalam krisis Nasionalisme saat ini yang terjadi malah terbalik, generasi penerusnya malah memiliki visi yang menyempit, dimana Bangsa dan Negara rela dikorbankan demi kepentingan keluarga dan pribadi. Maka produktifitas menjadi korupsi, Kaderisasi menjadi nepotisme, dan gotong royong menjadi kolusi. Untuk kembali menumbuhkan dan mengembangkan rasa nasionalisme, dalam kondisi saat ini dibutuhkan sebuah langkah nyata dalam karya-karya produktif dan konstruktif dalam sebuah visi pembaharu yang bisa menjadi antitesa dari visi realita saat ini yang cenderung menyempit dan egosentris.

Pemikiran

Berangkat dari sebuah kesadaran akan potensi besar bangsa ini yang terlahir dari kristalisasi nilai-nilai luhur Spiritual Nusantara, maka perlu kiranya untuk meneruskan perjuangan dengan memiliki penghayatan utuh dan pengejawantahan yang cakap atas nilai-nilai luhur tersebut guna menghadapi tantangan jaman saat ini.
Dalam kehidupan berbangsa yang tersusun dalam sebuah sistem bernegara, faktor utama yang sangat menentukan arah, gerak, bentuk dan nasib dari peradaban suatu bangsa adalah manusianya. Dimana faktor manusia inilah pelaksana perwujudan dari sebuah cita-cita di berbagai jenjang dan posisi kehidupannya.
Perlunya sebuah upaya penyelarasan visi dalam arah dan tujuan setiap potensi bangsa untuk mencapai suatu cita-cita, tanpa menghilangkan nilai-nilai kebhinekaan dari berbagai bentuk ekspresi kreatifitas produktif setiap anak bangsa.
Kehidupan bangsa sebagai interaksi sosial kolektif disusun dari berbagai bentuk manifestasi ikatan keluarga. Baik keluarga dalam bentuk keturunan darah maupun keluarga yang terbentuk dari kesatuan sebuah cita-cita.Setiap keluarga memiliki potensi dominasi dan nilai keunggulan serta kelemahan yang berbeda-beda. Maka perlu adanya sebuah upaya membentuk interaksi sinergis dari berbagai nilai unggul dan penguatan atas berbagai kelemahan antar keluarga menjadi sebuah pilar utama soko guru bangsa.
Sebagai sebuah bangsa yang besar yang memiliki beragam kekayaan alam maupun sumber daya manusia, dalam perjalanan untuk mewujudkan sebuah cita-cita perlu adanya upaya pengalian potensi, penglolaan dan penataan yang memperhatikan keseimbangan dalam pertumbuhan dan perkembangan alami dari masing-masing potensi kekayaan bangsa tersebut.




Dari latar belakang, permasalahan dan dasar pemikiran tersebut diatas, Kita bersama menyadari bahwa kompleksitas masalah bangsa ini tidak mungkin hanya bisa diselesaikan dengan satu cara, oleh seseorang atau segolongan orang saja dalam waktu singkat dan segera. Sebab akar masalahnya juga bukan ditimbulkan oleh seseorang, atau segolongan orang saja dalam waktu singkat. Tapi permasalahan ini timbul dari akumulasi keputusan kolektif kita semua sebagai satu bangsa sejak memutuskan untuk mendirikan suatu Negara. Maka tidaklah bijak bila permasalahan bangsa ini hanya kita bebankan tanggung jawabnya kepada seseorang maupun segolongan orang saja dalam suatu masa. Tapi hendaklah hal ini kita terima sebagai wujud tanggung jawab kolektif suatu bangsa. Dan segenap fenomena permasalahan ini ada baiknya kita lihat sebagai proses alami pendewasaan suatu bangsa.

Kebijaksanaan Alam seperti mengajarkan kita konsekwensi logis dari terciptanya sebuah maha karya dari seekor makhluk. Ibarat seekor ulat bulu, yang banyak warna-warni kulitnya dengan tubuhnya yang besar. Pada awal proses, kelihatan sedemikian menjengkelkan dengan bulunya yang membuat gatal. Mengerikan dengan bentuknya yang besar dan warnanya yang menjijikkan. Tingkahnya menakutkan dengan menggerogoti daun-daun dan merusak tanaman. Sebuah makhluk yang layak untuk dijauhi, disingkirkan bahkan harus dibinasakan. Tapi bila tiba saatnya, aktualisasi diri pada tahap ini dilewati dan segenap potensi dirinya sudah dikenali, maka makhluk ini masuk pada tahap berikutnya dengan introspeksi diri dalam bentuk kepompong. Pada tahap ini ia menjadi seekor makhluk yang lemah, tidak berdaya tidak punya arah dan tujuan, dan tidak tentu nasibnya. Sehingga tidak ada satu pun makhluk yang peduli padanya. Bahkan banyak makhluk lain yang hendak berebut memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri-sendiri. Banyak bahaya mengancam hidupnya setiap saat, tanpa ia bisa mempertahankan atau membela dirinya. Bila dengan kasih sayang Tuhan, dan keikhlasan dirinya menerima itu semua, dia bisa selamat melewati tahap ini, barulah jerih payah ini melahirkan sebuah Maha Karya. Terbanglah dari dalam selaput kepompong yang lemah itu, seekor Kupu-kupu besar yang sangat indah warnanya dan sangat gagah terbangnya. Mengisap madu sari pati bunga sebagai makanannya. Menebarkan serbuk bunga yang melekat bersama dirinya. Terbang membantu sang bunga melakukan perkawinannya. Pada tahap ini dirinya sangat mengagumkan dan menarik hati siapa saja yang melihatnya. Setiap insan ingin mengikuti kemana saja dia terbang, dan ingin menyimpannya sebagai suatu hiasan yang sangat membanggakan. Tingkahnya menarik hati, pandai mengisap sari pati bunga kehidupan untuk konsumsi dirinya. Dan memberi manfaat dengan membantu makhluk lain untuk bisa tumbuh merdeka, menyebarkan bibit-bibit bunga kehidupan dengan cinta dan suka cita. Dari alam kita belajar konsekwensi logis berlakunya hukum kehidupan. Dari ulat menjadi kepompong sampai kupu-kupu. Semakin besar badannya, semakin menjijikkan warnanya dan semakin mengerikan tingkah lakunya. Bila masa dari setiap tahap metamorfosis bisa dilalui, maka makin gagah, makin indah dan makin membahagiakan pula hasilnya

Dari berbagai potensi bangsa, kita masih bisa optimis, bahwa masih banyak putra-putra Nusantara yang tersebar luas di seluruh penjuru dunia, yang memiliki cinta dan peduli dengan nasib bangsanya. Dengan kreatifitas dan kemampuan masing-masing tentu banyak upaya yang tengah dilakukan guna mengentaskan bangsa ini dari krisis multidimensional. Untuk itu sebagai bagian dari kolektive Bangsa, ada baiknya kita tidak membuang waktu dengan menyalahkan berbagai pihak kesana kemari sebagai biang keladi permasalahan bangsa ini. Akan tetapi tanpa meninggalkan sikap kritis dan waspada untuk mencegah terulangnya kesalahan-kesalahan itu sendiri, dalam setiap kesempatan, akan lebih baik bila kita mau mengutamakan dan menggunakannya untuk ikut memberi kontribusi langsung, menggenapi peran kolektif sebagai salah satu anak bangsa, dalam karya nyata yang produktif dan konstrukstif sesuai dengan kemampuan yang ada.